Kamis, 03 Oktober 2013

Refleksi Pengalaman Menjadi Anggota Reppala



Ada banyak hal yang bisa dipelajari dalam Reppala, termasuk hal-hal yang sama sekali tidak ada dalam organisasi pencinta alam lainnya. Di Rembang, sebagai daerah yang termasuk miskin dan agak ndesa di propinsi Jawa Tengah, memang banyak organisasi pencinta alam. Di setiap kecamatan atau bahkan setiap SMA, bisa jadi ada organisasi pencinta alam-nya. Namun sebagian besar masih mengidentikkan pencinta alam dengan naik gunung, berpetualang di alam terbuka dan kegiatan mblarak-mblarak sejenis lainnya. Hanya sedikit beberapa diantaranya yang ter-educated dengan misalnya pemahaman tentang konservasi sumber daya alam, kesehatan reproduksi remaja dan keluarga berencana, administrasi dan jurnalistik, atau hal-hal teknis yang sangat “canggih”, misalnya mountainering sekaligus praktek beragam metodenya, speleologi, atau survival. Atau, kalau ada yang berminat, bisa juga belajar bikin orang yang suka buang air sembarangan menjadi mules semalaman. Bahkan bisa juga menangkap “tuyul”. Yang pernah belajar hal terakhir ini jangan tertawa. Atau anda bahkan pernah menjadi tuyulnya?


Walaupun begitu, dari berbagai kegiatan itu, yang menarik dan merupakan hal pokok memang adalah berpetualang, lebih khusus lagi naik gunung. Dengan dua aktivitas tersebut, kita bisa menjadi benar-benar bersentuhan secara langsung dengan alam, yaitu alam yang masih relatif asli tanpa terlalu banyak campur tangan manusia. Alam memang tidak hanya melulu gunung. Laut bahkan adalah bagian yang paling luas di bumi ini. Ada yang bilang, kalau anda takjub melihat gunung dan hutan, anda pasti akan lebih takjub lagi kalau melihat ke dalam laut. Di sana juga ada gunung, juga ada hutan yang masih sama sekali belum dinodai oleh manusia. Tapi masalahnya, ke laut butuh lebih banyak skill dan lebih banyak biaya. Alasan lain, Reppala tidak (atau belum) mempunyai pakar yang ahli tentang menjelajahi laut, baik dengan cara berperahu atau menyelam. Tentu dengan cara yang baik, tidak asal nyilem saja. Padahal Rembang berada persis di bibir laut, yaitu Laut Jawa, yang landai dan tidak terlalu bergejolak. Entah suatu saat nanti, kalau sudah ada anggota Reppala yang bisa menemukan markas burung walet penuh dengan yan-o sak glangsé di gunung Merbabu atau menemukan inten sak gentong di gunung Argapura. Nah, ini ada fakta baru lagi. Di Reppala bisa juga belajar mencari harta karun!

Maka, sebagai anggota baru Reppala, sekitar beberapa bulan menjelang reformasi, saya bersama rekan seangkatan digiring ke Argapura, training ground Reppala. Waktu itu, masih lumayan asri. Saya seperti ada di lokasi shooting film legendaris Jurrasic Park. Saya terheran-heran melihat bukit dan gunung-gunung batu menjulang persis di depan mata. Saya takjub merasakan air yang benar-benar baru mbrubul dari celah batu. Padahal, semua itu hanya beberapa kilometer saja dari Pamotan. Saya semakin heran menemukan warung yang begitu bersahaja di dukuh Ngroto, pemukiman terakhir (waktu itu) sebelum masuk jalur pendakian. Pemilik warung itu, namanya Mbah Dauri, begitu ramah. Gorengannya begitu gede. Harganya begitu murah. Bangunan paling ujung dukuh Ngroto adalah sebuah masjid. Lumayan besar. Biasanya di situ kami mengambil air untuk bekal minum. Persis di depan masjid, ada selokan besar yang menjadi batas antara masjid dan jalan, dialiri gemercik air gunung, membuat saya teringat pada apa yang digambarkan pak Ahmad Tohari dalam novel Bekisar Merah. Setelah itu, naik sedikit lagi, semuanya sudah berubah menjadi sejuk dan dingin. Tidak ada suara apa-apa, kecuali suara yang dihasilkan alam : suara angin, gesekan ranting dan dedaunan, serta suara berbagai macam serangga. Tidak ada suara motor, tidak ada suara ndangdut. Naik lagi, akan sampai di pertigaan. Kalau anda lurus, akan terus menuju puncak Argapura. Kalau ke kanan lalu berjalan kurang lebih setengah jam dari situ, anda akan menemukan tempat yang sungguh aduhai ndlesep-nya. Reppala menamainya SS, kalau tidak salah, singkatan dari Siwalan-Sukun. Tempat ini, adalah berupa tanah landai yang hanya sejengkal, hanya muat beberapa tenda. Di pinggirnya pas, mengalir sebuah sungai kecil. Super jernih. Di kanan kirinya, tempat ini diapit dua buah igir gunung Argapura. Di sekelilingnya, pohon sengon dan rumpun perdu tumbuh sangat lebat dan padat. Saya masih bisa mendengar suara burung pelatuk membuat sarang. Sesekali, ada suara burung hantu. Sesekali saya melihat dua bola mata menyala di semak-semak, lalu hilang menjauh. Mungkin kucing hutan, mungkin juga luwak atau musang atau garangan. Bisa jadi juga babi hutan. Atau siapa tahu, itu adalah macan kumbang terakhir yang masih hidup di sana.

Sejak pendakian pertama itu, yang dipandu oleh dua senior saya mas (alm) Ratno Timur dan mas Iing, entah sudah berapa kali saya ke sana. Kalau Om Upit sedang stres, dia mengajak saya ke sana. Kalau Om Anang galau, dia juga mengusulkan malam mingguan ke sana. Kalau Om (alm) Antok sedang banyak uang, dia juga mentraktir kami ke sana. Tapi itu semua, 15 tahun yang lalu.

Terakhir ke sana, di sebuah upacara 17 Agustus-an di puncak Argapura sekitar tahun 2002, saya mendapati suasana yang sudah sangat berbeda. Ladang sudah ada di mana-mana. Bahkan menjelang puncak, berdekatan dengan lokasi reruntuhan bangunan yang konon katanya adalah sebuah candi, sudah ada ladang yang baru di buat. Kebutuhan hidup dan pertumbuhan penduduk memang selalu berkorelasi negatif dengan eksistensi alam. Entah bagaimana situasi saat ini. Kalau ada yang baru saja masih sempat menengok kondisi Argapura, maukah anda berkabar sedikit di sini?
Saya di-tag Mas Topo, yang hari minggu lalu, berencana mau kangen-kangenan dengan perbukitan Brenjang, sekompleks dengan pegunungan Argapura, satu bagian dari rangkaian panjang pegunungan Kendeng Utara yang membujur dari Blora sampai Pati sampai Lasem, melindungi wilayah ini dari gerusan angin kering Laut Jawa. Tentu saya ingin ikut. Tentu saya ingin turut. Tapi keinginan hanya tinggal jadi keinginan.


Yogas Ardiansyah 98126

Tidak ada komentar: