Senin, 28 April 2014

Etika Bertualang


Kisah atau pengalaman melakukan perjalanan maupun bertualang di alam bebas  seringkali disalah artikan banyak orang sebagai gaya hidup baru yang hanya bisa dikonsumsi kelompok maupun komunitas tertentu saja. Para penghobby bertualang tentu saja memaknai aktifitas mereka sebagai salah satu bagian hidup yang sangat berarti.
Dengan melakukan aktifitas bertualang baik dalam bentuk mendaki gunung, jelajah hutan, arum jeram, susur gua dan sebagainya ternyata memberikan kepuasan tersendiri dan hanya bisa dirasakan para penghobby itu saja.
Terlepas dari persepsi orang kebanyakan, pilihan hobby ini dirasakan unik, tidak lazim atau bahkan terkesan justru ekstrim. Tidak heran bila muncul anggapan bahwa hobby bertualang sering dinilai negative ketimbang positif. Para penggiat hobby yang ekstrim itu sama dengan penyuka gaya hidup serba bebas, yang tentu saja belum tentu kebenarannya.
Berefleksi dari seriusnya para penghobby yang dengan tekun menggeluti aktifitas ekstrim itu mestinya menjadikan penasaran banyak orang. Bila dipandang aktifitas itu terkesan sama sekali tidak produktif , tapi mengapa makin ke kini makin banyak peminatnya.  Berita incident akibat aktifitas ektrim itu juga sering didengar melalui media yang terhitung tinggi frekuensinya, namun begitu justru tidak menjadikan aktifitas bertualang di alam bebas ini makin berkurang melainkan justru meningkat dari wktu ke waktu.

Etika berinteraksi
Kisah ketekunan penghobby aktifitas ekstrim di alam bebas ternyata cukup menarik untuk dipahami. Sebagai suatu komunitas, sesama penghobby yang umumnya tergabung dalam club sejenis maupun sekedar kelompok yang terbentuk oleh kesamaan hobby anggotanya. Mereka yang mengklaim dirinya sebagai pendaki gunung, pemanjat tebing, sampai yang menyukai sekedar blusukan di hutan bisa dipastikan akan memilih klub sejenis sebagai organisasi pilihan yang akan memberikan ruang untuk mengembangkan hobby sekaligus membangun relasi dengan sesama hobby. Mereka yang lebih memilih bebas tanpa ikatan organisasi maupun club cenderung mendeklarasikan sebagai petualang freeland dengan bergabung pada komunitasnya sendiri.  
Yang unik dari keberadaan komunitas sesama penghobby adalah adanya semacam etika dalam proses interaksi mereka. Adanya tempat ngumpul dalam bentuk kelompok ini penting artinya sebagai media berinteraksi guna saling maupun sekedar share di kelompoknya. Sebagai contoh pada komunitas atau club pendaki gunung di Indonesia, yang menempatkan Kode Etik Pecinta Alam  sebagai norma yang mempedomani seluruh pendaki gunung. Pada Kode Etik Pecinta Alam  dengan jelas sudah menuntun setiap pendaki gunung untuk selalu mengedepankan sisi ketuhanan sebagai bagian yang essensial dalam aktifitasnya. Termasuk juga deklarasi mutlak bahwa manusia berkewajiban membangun harmonisasi  dengan alam dan manusia yang berada di sekitarnya.
Sementara sebagai pemanjat tebing juga mengenal EtikaPanjat Tebing  yang berisi mengenai kesepakatan tidak tertulis dalam praktek pemanjatan. Pada kode etik mengatur mengenai pengakuan jalur pemanjatan yang sah maupun tidak sah, tata cara yang baik mengenai perlakuan terhadap suatu jalur pemanjatan dan upaya mencegah  adanya klaim buta terhadap jalur pemanjatan.
Di luar etika pendaki gunung dan pemanjat tebing masih ada banyak lagi etika yang secara spesifik mengatur dalam aktifitas bertualang. Secara keseluruhan etika yang berlaku dimaksudkan untuk memahamkan para penghobby bahwa keberadaan manusia sesungguhnya sangat kecil di alam semesta ini, dengan begitu manusia harus berendah hati dan selalu ingat bahwa keberadaan Tuhan adalah awal mula dari seluruh ciptaan. Adanya kesadaran bahwa manusia sangat kecil alam semesta maka setiap manusia haruslah sadar akan selalu membutuhkan sesamanya.

Apa info selanjutnya  ?

Tidak ada komentar: