Senin, 05 September 2011

Dorongan Berprestasi Pada Anak dan Remaja


          Dalam perkembangan anak, tidak hanya terjadi proses perkembangan di dalam diri anak sesuai dengan teori kematangan, namun dalam banyak hal proses-proses perkembangan dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan berperan besar sebagai sumber rangsangan untuk mempengaruhi perkembangan anak dan membentuk ciri karakterologis dari kepribadiannya sesuai dengan apa yang diinginkan atau diharapkan. Anak pada hakikatnya punya perangkat dari bawaan atau kemampuan yang akan muncul dan dimunculkan ( diaktualisasikan) oleh campur tangan dan stimulasi dari lingkungan, antara lain dalam bentuk pola asuh dan pendidikan, formal maupun informal.

          Salah satu aspek karakterologis yang bisa dan banyak dipengaruhi kemunculannya adalah dorongan berprestasi (achievement motive) pada anak. Jadi dalam batas batas tertentu dorongan berprestasi adalah sesuatu yang ada yang menjadi ciri dari kepribadian seorang anak, sesuatu mengenai apa yang ada dan dibawa dari lahir. Namun di pihak lain dorongan berprestasi ternyata dalam banyak hal adalah sesuatu yang ditumbuhkan, dikembangkan, hasil dari mempelajari melalui interaksi dengan lingkungan. Sedangkan lingkungan hidup anak yang pertama dan terutama ialah keluarga, sekolah, lingkungan pergaulan dan masyarakat pada umumnya.
          Dorongan berprestasi bisa diperlihatkan anak dan remaja terhadap berbagai kegiatan yakni yang berhubungan dengan pendidikan di sekolah, dalam bidang olah raga, kesenian atau kegiatan kegiatan khusus yang berkaitan dengan bakat dan minat yang secara khusus dimiliki anak.
          Dalam pembicaraan ini dibatasi pada dorongan berprestasi yang bersifat akademik, jadi berkaitan dengan pelajaran-pelajaran sekolah, sebagai sesuatu dorongan yang harus ada dan penting sekali untuk mencapai keberhasilan. Dalam banyak hal kegagalan –kegagalan seseorang memang bisa disebabkan terbatasnya kemampuan yang ada, yang dimiliki, namun dipihak lain, kegagalan acapkali juga disebablan oleh kurangnya atau bahkan tidak adanya dorongan  untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Seiring dengan hal ini, para ahli yang berorientasi pada konsep humanistic, mengemukakan bahwa banyak potensi pada manusia mubadzir, banyak sumber daya manusia terbengkalai karena tidak dibina secara tepat.
          David McClelland (1961) sendiri mengemukakan bahwa negara-negara yang perekonomiannya maju, masyarakatnya pada umumnya memiliki dorongan berprestasi yang tinggi, artinya sumber daya yang ada dan dimiliki dapat dibina dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Demikian pula penyataan yang dikemukakan oleh AH Maslow (1953) dengan hierarki kebutuhannya bahwa banyak orang yang tidak sampai pada tingkat paling atas dari sistema kebutuhan yakni aktualisasi diri, padahal seorang yang bisa memenuhi kebutuhan aktualisasi diri adalah seorang yang mampu mempergunakan kemampuannya secara penuh. Jadi kalau tidak sampai tingkatan paling atas untuk aktualisasi diri, berarti tidak mampu mengembangkan kemampuannya secara penuh, suatu hal yang patut disayangkan. Jadi kemampuan yang ada yang sebenarnya dimiliki oleh seorang anak, tidak akan bermanfaat kalau tidak dikembangkan, tidak dibina hasratnya atau dorongannya untuk berprestasi (underachiever). Pribadi demikian adalah sosok dengan kepribadian lemah, mudah menyarah, statis dan tidak menyukai kemajuan. Dorongan berprestasi sebagai salah satu dari motif social banyak dipelajari oleh David Mc Clelland sejak tahun 50-an dan sampai sekarang terus dipelajari karena kepentingannya sebagai sumber daya manusia kearah perkembangan dan pengembangan masyarakat. Untuk memahami lebih lanjut mengenai dorongan berprestasi ini baik sekali memahami apa yang dikemukakan JP Chaplin (Dictionary of Psychology, 1985) sebagai berikut :
     Dorongan berprestasi adalah :

  1. Kecenderungan untuk mencapai sukses atau memperoleh apa yang menjadi tujuan akhir yang dikehendaki.
  2. Keterlibatan diri seseorang terhadap sesuatu tugas.
  3. Harapan untuk berhasil dalam suatu tugas yang diberikan.
  4. Dorongan untuk mengatasi rintangan-rintangan atau perjuangan untuk melakukan pekerjaaan-pekerjaan yang sulit secara cepat dan tepat.

          Dorongan berprestasi yang berhubungan erat dengan aspek kepribadian perlu dibina sejak kecil khususnya dalam keluarga. Keluarga dan suasana keluarga menjadi ladang yang subur untuk menanamkan dan mengembangkan
“ Virus n-ach” (dorongan berprestasi).
Cara orang tua bertindak sebagai orang tua yang melakukan Pola Asuh terhadap anak (Child rearing practices) memegang peranan penting dalam menanamkan dan membina dorongan berprestasi pada anak dan remaja. Sama halnya  dengan pendidikan yang secara umum dan sederhana diartikan sebagai usaha aktif dari orang tua terhadap anak, demikian pula dalam hal dorongan berprestasi. Orang tua bisa secara langsung mengajarkan (directive, instrction) agar apa yang dilakukan oleh anak harus mencapai hasil sebaik-baiknya, karena dengan hasil yang baik, akan banyak membawa  keuntungan bagi perkembangan diri dan hari depannya, disamping  tugas dan tanggung jawabnya terhadap masyarakat ,bangsa dan negaranya. Apa yang diajarkan orang tua dan hasil yang dicapai harus merupakan sesuatu yang menyenangkan agar timbul keinginan untuk melakukan lagi. Pada anak yang belum menyadari kegunaan dan hasilnya, pembiasaan perlu dilakukan sejak dini dan bisa diberikan perangsang dalam bentuk pujian atau penerimaaan (acceptance atau social approval). Tuntutan yang berlebihan tanpa ada hasil atau reaksi yang menyenangkan, justru akan menyebabkan anak meras tidak senang, segan melakukan. Contoh dalam hal ini ialah tuntutan prestasi yang acapkali berlebihan sehingga merupakan tekanan tersendiri dan bisa menimbulkan dampak pada kepribadian dan atau pada kesehatannya.
          Hal lain yang perlu dilakukan orang tua terhadap anak agar anak bisa mengembangkan dorongan berprestasi ialah melalui usaha secara tidak langsung, yakni melatih anak agar bisa mengurus dan memenuhi keinginan dan kebutuhan diri sendiri tanpa dibantu orang lain. Menurut Suksmorn Prapattong (1982) jika anak diajarkan untuk mandiri sejak kecil , ia akan tumbuh sebagai anak dengan dorongan berprestasi tinggi. Pola asuh yang mengarah kepada kemandirian dini pada anak adalah latihan yang diberikan kepada anak untuk melaklukan berbagai hal sendiri sedini mungkin sesuai dengan tahapan perkembangnnya. Cara menumbuhkan kemampuan dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Suksmorn Prapattong menunjukkan bahwa dengan membacakan cerita atau mendongeng yang merangsang kemandirian dan keberhasilan terhadap anak
oleh orang tua, anak terpengaruh dan secara menyakinkan dorongan untuk berprestasi meninggi.
Usaha-usaha membina dorongan berprestasi pada anak juga bisa dilakukan secara tidak langsung, secara tidak sengaja atau bahkan secara tidak disadari baik olah orang tua maupun oleh anak yaitu meniru ( imitasi ) perilaku orang tua yang dijadikan model oleh anak.
          Jadi pada anak terjadi proses belajar yakni mendapat sesuatu hal baru dari proses mengamati model ( observational learning). Ciri-ciri kepribadian pada model ingin ditiru , apalagi  kalau ciri kepribadian yang diperlihatkan  mencapai suatu keberhasilan. Demikian pula kalau cirri-ciri kepribadian pada modelnya (orang tua) adalah dorongan berprestasinya tinggi, seorang yang ulet, tabah, gigih, dan berorientasi terhadap kemajuan maka pada anak juga cenderung meniru hal-hal demikian. Keberhasilan pada orang tua ingin ditiru oleh anak sebagai suatu proses identifikasi terhadap tokoh model yang seharusnya idela karena obyek penokohannya adalah orang tuanya sendiri. Suasana dalam keluarga, meliputi interaksi antara seorang dengan lainnya, antara anak dengan orang tua, antara anak dengan saudaranya, menjadi factor lain yang berpengaruh terhadap tumbuh tidaknya dorongan berprestasi pada anak.
          Suasana kompetitif secukupnya yang sehat dan konstruktif antar saudara , dapat memacu dorongan berprestasi. Sayangnya hal ini sulit diketahui, karena ada factor-faktor yang sengaja atau tidak sengaja ditutupi oleh masing-masing yang bersangkutan. Kepekaan dan kecermatan menilai keadaan ini dari orang tua terhadap anak sangat diperlukan agar tidak tercebur pada persaingan yang tidak sehat dan lebih lanjut bisa berdampak negatif pada kepribadian anak, karena perspsi anak keliru juga bisa terjadi pada anak itu sendiri.
          Suatu dorongan (motive) lain yang isa menghambat munculnya  dorongan berprestasi pada anak , adalah ketakutan akan gagal  (fear of failure). Karena takut atau segan menghadap kegagalan, sesuatu yang tidak menyenangkan, maka seseorang cenderung menempatkan tugas, keinginan dan prestasi dalam batas-batas yang masih bisa diraih atau dijangkaunya. Ketakutan akan gagal menyebabkan seseorang tidak menyukai pekerjaan yang terlalu mudah, karena tidak merangsang  atau menantang untuk diatasi, tetapi sebaliknya juga segan menghadapi tugas atau pekerjaan  yang terlalu sulit yang kemungkinan akan berhasilnya rendah. Dalam menghadapi hal ini ,
pembinaan harus diarahkan agar anak berani dan terbiasa menghadapi kegagalan dan kegagalan bukanlah sesuatu yang harus dihindari tetapi sesuatu yang harus dihadapi bila memang harus menghadapinya. Kegagalan justru harus dijadikan pelajaran dan pengalaman berharga untuk mmperbaiki usahanya dan meningkatkan dorongan untuk mencapai hasil yang lebih baik.
          Di sekolah seorang anak bisa terpacu untuk meningkatkan atau mempertahankan dorongan berprestasinya , sebaliknya juga bisa mengendorkan dorongannnya. Keseluruhan sekolah sebagai system social khusus dengan semua factor yang membentuknya , bisa menjadi factor positif bagi perkembangan anak. Guru dengan ketrampilan didaktik-metodik mengajar dan dalam melaksanakan tugas-tugas mengajar sesuai dengan kurikulumnya, teman-teman skolah dengan berbagai corak dan kualitas kemampuan, sarana dan prasarana pendidikan , semua mengambil bagian dalam menanamkan dan mengembangkan dorongan berprestasi anak.
          Factor positif dari guru ialah caranya berinteraksi dengan murid sehingga murid merasa senang dan terdorong untuk belajar dan mencapai nilai sebaik-baiknya. Guru diharapkan mampu melatih anak agar mengasosiakan kegiatan belajar pada anak sebagai sesuatu yang tidak menekan dan kalau bisa tentu sebagai sesuatu yang menyenangkan  agar hukum efek (Thorndike) dapat diterapkan pada anak. Teknik evaluasi perlu diperhatikan agar bisa memacu anak untuk mecapai hasil atau prestasi yang lebih baik lagi. Hal lain adalah peranan kawan-kawan di sekolah  yang bisa dijadikan patokan atau ukuran sejauh mana usaha bersaing yang baik dan terarah, atau terpengaruh yang negatif yang mempengaruhi sikap-sikapnya  terhadap pelajaran atau bahkan juga terhadap gurunya yang bisa menimbulkan kemalasan belajar dan kurangnya gairah untuk mencapai angka setinggi-tingginya. Lingkungan pergaulan dengan anak-anak sebaya sering berpengaruh besar terhadap segi-segi karakterologis anak, termasuk dorongan berprestasinya yang bisa tinggi atau rendah, apalagi kalau anak tidak merasakan ada kehangatan dalam keluarga. Tidak jarang seorang anak mengatakan bahwa ia merasa lebih dekat dan lebih mudah berbicara dengan teman daripada dengan orang tua atau saudaranya sendiri. Dalam hal seperti ini jelas dibutuhkan perhatian dan kalau perlu tindakan agar anak merasa betah dan senag di rumah dan memperoleh tokoh identifikasinya di lingkungan keluarga, yang bisa dijadikan patokan dalam hal berprestasi setinggi-tingginya.

Lingkungan fisik dengan berbagai sarana dan prasarana bisa berpengaruh besar terhadap perhatian, konsentrasi dan minat belajar anak, jadi juga berpengaruh terhadap dorongan berprestasi anak, baik di sekolah maupun di rumah.