Dulu, Hari ini dan Besok
Saya
 sedang rindu pulang ke Pamotan, tetapi tidak bisa pulang karena situasi
 belum memungkinkan. Lalu entah mengapa, tiba-tiba saya putuskan untuk 
mencari aktivitas yang berhubungan dengan Pamotan. Lantas segera 
terbersit untuk mengakses grup ini, yang paling tidak bisa nambani 
kangen saya pada Pertanian dengan sawah yang luas membentang, pada bukit
 Dolampeng yang kering kerontang, pada deretan hutan jati dengan angin 
semilirnya, pada basecamp Reppala yang telah melahirkan dan menghidupi 
begitu banyak masa muda anak-anak mBedog, Pancur, nJumput, dan Pamotan 
sendiri, dan seluruh kabupaten Rembang…
 
 Dulu, pikir saya, yang 
namanya Pencinta Alam itu ya kegiatannya begitu-begitu saja. Naik 
gunung, kumpul bareng dan korea-koreanan. Intinya pokoknya naik gunung. 
Bukan pencinta alam kalau tidak naik gunung (padahal banyak yang naik 
gunung bukan mencintai alam, justru menyakiti alam : dengan membuang 
sampah di gunung, membakar belukar, mbedil-i manuk…). Jadi, begitu 
terkejut dan excited-nya saya, ketika disodori begitu banyak hal yang 
tidak saya bayangkan sebelumnya ketika menjadi anggota Reppala. 
Speleologi itu ilmu apa? Rappling itu makanan apa? Survival itu 
bangsanya apa? Lalu ini yang sungguh aneh : Konservasi Sumber Daya Alam!
 Sebagai anak yang baru lulus SMP, saya langsung merasa sedang ikut 
pelajaran Geografi lagi ketika harus belajar “mata kuliah” ini dalam 
diksar angkatan saya. Niatnya ikut Reppala pengen lepas dari suasana 
sekolah, eh, malah seperti disuruh sekolah lagi. Begitu batin saya kala 
itu.
 
 Hingga sekitar dua tahun setelah diksar itu, saya diminta 
mas Topo mengikuti pertemuan yang diadakan oleh Perhutani Rembang di 
gedung Kartini. Saya tentu wegah dan menolak. Tetapi karena 
diiming-imingi nanti dapat sangu dan makan gratis di sana, saya jadi 
tertarik. Dolan gratis, Nda.. Maka bersama Oom Anang dan Alm. Oom Antok 
(Al-Fatihah…), kami bertiga berangkat, dibekali umbal miyang-muleh dan 
motivasi dapat sangu dan makan gratis tadi. Sampai di lokasi pertemuan, 
bukan main terkejutnya kami. Yang hadir ternyata bapak-bapak semua. 
Necis-necis dengan baju batik semua. Sedangkan kami, 3 orang ini, 
seperti cah ilang dengan jelana jeans dan kaos oranye kebanggan itu. 
Tapi cuek lah, toh nama kami ternyata sudah ada dalam buku undangan. Dan
 acara-pun di mulai. Banyak orang bicara tentang hutan, tentang 
masyarakat yang hidup di sekitar hutan, tentang rusaknya hutan, tentang 
bagaimana bertani disela-sela tanaman hutan, tentang istilah yang baru 
pertama kali saya dengar yaitu “stakeholder”, tentang PHBM yang kalau 
dipanjangkan jadi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, dan banyak lagi,
 yang sedikit demi sedikit memahamkan saya mengapa Reppala dilibatkan 
dalam pertemuan ini. Kami juga dapat satu bendel potokopian-potokopian 
materi, yang tidak jauh-jauh alias mirip dari artikel yang saya dapat 
dari portal Perhutani tentang penduduk di kecamatan Sale ini : 
 
 http://www.bumn.go.id/perhutani/publikasi/siaran-pers/pesanggem-yang-ramah-lingkungan/ 
 
 (setelah 12 tahun berlalu, topiknya kok ya masih tetap samaaaa…seperti 
dulu). Intinya, mengubah stigma dan perilaku masyarakat sekitar hutan 
–yang dianggap dan di-stereotip-i selalu merusak hutan dan mengambil 
kayu-kayunya, berganti menjadi masyarakat yang ikut berpartisipasi 
menjaga hutan dengan tetap mendapatkan manfaat ekonomis dari hasil 
hutan, agar tidak terjadi konflik antara para “stakeholder” tadi. Keren 
ya, teorinya? Padahal tidak selalu begitu dengan prakteknya. Yang 
merusak itu siapa? Yang menebang juga siapa? Tetapi, tentu bukan 
pertanyaan-pertanyaan itu yang hendak saya bahas karena sudah mengacu 
pada ranah politis dan kekuasaan yang suaaangat jauh relevansinya dengan
 Reppala kita.
 
 Lalu apa hubunganya semua itu dengan Reppala dan anggotanya? 
 
 Teman-teman, saya pikir menjadi pencinta alam sudah tidak selalu 
terasosiasi dengan naik gunung saja, dan memang Reppala sudah mereposisi
 diri dengan mempraktekkan itu sejak dahulu. Pencinta alam, secara 
sederhana, ya merujuk pada dua kata pembentuk frasa itu : mencintai 
alam. Maka yang perlu kita lakukan adalah mencintai alam dengan segala 
bentuk-bentuk tindakan yang selaras dengan dua kata itu. Mumet, tho? 
Makanya, kepada adik-adik yang baru dilantik bulan kemarin, sesekali 
harus mulai belajar tentang materi ini kepada senior yang masih ada di 
Pamotan. Kuwi, lho, Oom Upit kancani ben gak mrongos dewekan wae. 
Beberapa hal sederhana namun bernilai besar sudah, telah dan harus tetap
 dilakukan Reppala. Paling tidak ada dua hal. Pertama, melakukan edukasi
 yang tiada henti, khususnya kepada anak-anak muda untuk hidup selaras 
dan senada dengan lingkungannya. Entah itu melalui diksar, melalui 
acara-acara outbond, melalui kerjasama dengan instansi dan organisasi 
lain seperti sekolah, Pramuka dan PMR, yang sudah kita jalin selama ini.
 Edukasi atau pendidikan ini adalah investasi, yang paling tidak, 
membuat anak-anak muda mengerti bahwa manusia itu tidak hidup sendirian 
di dunia ini. Maksudnya, ada pohon, air, tumbuhan, batu, gunung, laut 
udara dan alam sekitar yang harus dihormati. Manusia berhak dan boleh 
memanfaatkannya, tetapi harus tetap menjaga fungsinya. Karena, jika satu
 elemen alam rusak, akan mempengaruhi elemen lain, yang ujung-ujungnya, 
akan membuat manusia sendiri yang menderita. (Rasanya, kita harus 
mereposisi semboyan “save the earth” yang sudah terlanjur akrab menjadi 
semboyan isu kelestarian alam. Benarkah bumi yang harus diselamatkan? 
Insyaalloh kita bahas dalam tulisan selanjutnya). Kedua, adalah 
melakukan tindakan pelestarian alam. Misalnya, Reppala pernah menjadi 
penggerak sekaligus panitia berbagai acara reboisasi yang bekerjasama 
dengan Pramuka, terutama saka Wanabakti. Kiranya ini yang perlu kita 
pertahankan. Memang, Reppala bukan organisasi besar semacam Walhi dan 
Greenpeace yang mendunia dan tindakannya yang berani sekali menentang 
kapitalisme dan globalisasi. Kita juga bukan tokoh besar seperti Al 
Gore, atau pak Emil Salim, atau pak Rahmat Witoelar yang sangat concern 
dengan kelestarian alam. Tetapi, Reppala punya kekuatan dan potensi 
untuk ikut berpartisipasi dalam kampanye pelestarian alam, tentu saja 
dengan kapasitasnya sendiri, kecil-kecilan, seperti yang saya utarakan 
tadi. Agar kita ini, para anggota Reppala yang sudah mencar-mencar di 
mana-mana ini, tetap membawa spirit mencintai alam, walaupun sudah 
“pensiun” sebagai pendaki gunung. Agar manusia dan seluruh anak turunnya
 kelak, masih bisa dan dipersilakan hidup di bumi yang belum ada 
gantinya ini, ditengah isu kerusakan dan eksploitasi yang gencar 
dilakukan dan makin parah kian hari.
 
 Wah.. Ndakik-ndakik sekali
 rupanya tulisan ini. Terlalu idealis dan teoritas. Pokoknya, kalau bisa
 ikut berjuang menentang perusakan alam. Kalau tidak bisa, ikut merawat 
alam sesuai kemampuan sendiri. Kalau tidak bisa, tidak ikut merusak 
alam. Kalau tidak bisa lagi…minimal harus merasa benci pada tindakan 
yang merusak alam. Itulah selemah-lemahnya iman menjadi pencinta alam.
 
 Saya semakin rindu dengan Pamotan dan warung mbak Peniknya…
 98126
 
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar