Senin, 23 Januari 2012

Dulu, Hari ini dan Besok

Saya sedang rindu pulang ke Pamotan, tetapi tidak bisa pulang karena situasi belum memungkinkan. Lalu entah mengapa, tiba-tiba saya putuskan untuk mencari aktivitas yang berhubungan dengan Pamotan. Lantas segera terbersit untuk mengakses grup ini, yang paling tidak bisa nambani kangen saya pada Pertanian dengan sawah yang luas membentang, pada bukit Dolampeng yang kering kerontang, pada deretan hutan jati dengan angin semilirnya, pada basecamp Reppala yang telah melahirkan dan menghidupi begitu banyak masa muda anak-anak mBedog, Pancur, nJumput, dan Pamotan sendiri, dan seluruh kabupaten Rembang…

Dulu, pikir saya, yang namanya Pencinta Alam itu ya kegiatannya begitu-begitu saja. Naik gunung, kumpul bareng dan korea-koreanan. Intinya pokoknya naik gunung. Bukan pencinta alam kalau tidak naik gunung (padahal banyak yang naik gunung bukan mencintai alam, justru menyakiti alam : dengan membuang sampah di gunung, membakar belukar, mbedil-i manuk…). Jadi, begitu terkejut dan excited-nya saya, ketika disodori begitu banyak hal yang tidak saya bayangkan sebelumnya ketika menjadi anggota Reppala. Speleologi itu ilmu apa? Rappling itu makanan apa? Survival itu bangsanya apa? Lalu ini yang sungguh aneh : Konservasi Sumber Daya Alam! Sebagai anak yang baru lulus SMP, saya langsung merasa sedang ikut pelajaran Geografi lagi ketika harus belajar “mata kuliah” ini dalam diksar angkatan saya. Niatnya ikut Reppala pengen lepas dari suasana sekolah, eh, malah seperti disuruh sekolah lagi. Begitu batin saya kala itu.

Hingga sekitar dua tahun setelah diksar itu, saya diminta mas Topo mengikuti pertemuan yang diadakan oleh Perhutani Rembang di gedung Kartini. Saya tentu wegah dan menolak. Tetapi karena diiming-imingi nanti dapat sangu dan makan gratis di sana, saya jadi tertarik. Dolan gratis, Nda.. Maka bersama Oom Anang dan Alm. Oom Antok (Al-Fatihah…), kami bertiga berangkat, dibekali umbal miyang-muleh dan motivasi dapat sangu dan makan gratis tadi. Sampai di lokasi pertemuan, bukan main terkejutnya kami. Yang hadir ternyata bapak-bapak semua. Necis-necis dengan baju batik semua. Sedangkan kami, 3 orang ini, seperti cah ilang dengan jelana jeans dan kaos oranye kebanggan itu. Tapi cuek lah, toh nama kami ternyata sudah ada dalam buku undangan. Dan acara-pun di mulai. Banyak orang bicara tentang hutan, tentang masyarakat yang hidup di sekitar hutan, tentang rusaknya hutan, tentang bagaimana bertani disela-sela tanaman hutan, tentang istilah yang baru pertama kali saya dengar yaitu “stakeholder”, tentang PHBM yang kalau dipanjangkan jadi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, dan banyak lagi, yang sedikit demi sedikit memahamkan saya mengapa Reppala dilibatkan dalam pertemuan ini. Kami juga dapat satu bendel potokopian-potokopian materi, yang tidak jauh-jauh alias mirip dari artikel yang saya dapat dari portal Perhutani tentang penduduk di kecamatan Sale ini :

http://www.bumn.go.id/perhutani/publikasi/siaran-pers/pesanggem-yang-ramah-lingkungan/
(setelah 12 tahun berlalu, topiknya kok ya masih tetap samaaaa…seperti dulu). Intinya, mengubah stigma dan perilaku masyarakat sekitar hutan –yang dianggap dan di-stereotip-i selalu merusak hutan dan mengambil kayu-kayunya, berganti menjadi masyarakat yang ikut berpartisipasi menjaga hutan dengan tetap mendapatkan manfaat ekonomis dari hasil hutan, agar tidak terjadi konflik antara para “stakeholder” tadi. Keren ya, teorinya? Padahal tidak selalu begitu dengan prakteknya. Yang merusak itu siapa? Yang menebang juga siapa? Tetapi, tentu bukan pertanyaan-pertanyaan itu yang hendak saya bahas karena sudah mengacu pada ranah politis dan kekuasaan yang suaaangat jauh relevansinya dengan Reppala kita.

Lalu apa hubunganya semua itu dengan Reppala dan anggotanya?

Teman-teman, saya pikir menjadi pencinta alam sudah tidak selalu terasosiasi dengan naik gunung saja, dan memang Reppala sudah mereposisi diri dengan mempraktekkan itu sejak dahulu. Pencinta alam, secara sederhana, ya merujuk pada dua kata pembentuk frasa itu : mencintai alam. Maka yang perlu kita lakukan adalah mencintai alam dengan segala bentuk-bentuk tindakan yang selaras dengan dua kata itu. Mumet, tho? Makanya, kepada adik-adik yang baru dilantik bulan kemarin, sesekali harus mulai belajar tentang materi ini kepada senior yang masih ada di Pamotan. Kuwi, lho, Oom Upit kancani ben gak mrongos dewekan wae. Beberapa hal sederhana namun bernilai besar sudah, telah dan harus tetap dilakukan Reppala. Paling tidak ada dua hal. Pertama, melakukan edukasi yang tiada henti, khususnya kepada anak-anak muda untuk hidup selaras dan senada dengan lingkungannya. Entah itu melalui diksar, melalui acara-acara outbond, melalui kerjasama dengan instansi dan organisasi lain seperti sekolah, Pramuka dan PMR, yang sudah kita jalin selama ini. Edukasi atau pendidikan ini adalah investasi, yang paling tidak, membuat anak-anak muda mengerti bahwa manusia itu tidak hidup sendirian di dunia ini. Maksudnya, ada pohon, air, tumbuhan, batu, gunung, laut udara dan alam sekitar yang harus dihormati. Manusia berhak dan boleh memanfaatkannya, tetapi harus tetap menjaga fungsinya. Karena, jika satu elemen alam rusak, akan mempengaruhi elemen lain, yang ujung-ujungnya, akan membuat manusia sendiri yang menderita. (Rasanya, kita harus mereposisi semboyan “save the earth” yang sudah terlanjur akrab menjadi semboyan isu kelestarian alam. Benarkah bumi yang harus diselamatkan? Insyaalloh kita bahas dalam tulisan selanjutnya). Kedua, adalah melakukan tindakan pelestarian alam. Misalnya, Reppala pernah menjadi penggerak sekaligus panitia berbagai acara reboisasi yang bekerjasama dengan Pramuka, terutama saka Wanabakti. Kiranya ini yang perlu kita pertahankan. Memang, Reppala bukan organisasi besar semacam Walhi dan Greenpeace yang mendunia dan tindakannya yang berani sekali menentang kapitalisme dan globalisasi. Kita juga bukan tokoh besar seperti Al Gore, atau pak Emil Salim, atau pak Rahmat Witoelar yang sangat concern dengan kelestarian alam. Tetapi, Reppala punya kekuatan dan potensi untuk ikut berpartisipasi dalam kampanye pelestarian alam, tentu saja dengan kapasitasnya sendiri, kecil-kecilan, seperti yang saya utarakan tadi. Agar kita ini, para anggota Reppala yang sudah mencar-mencar di mana-mana ini, tetap membawa spirit mencintai alam, walaupun sudah “pensiun” sebagai pendaki gunung. Agar manusia dan seluruh anak turunnya kelak, masih bisa dan dipersilakan hidup di bumi yang belum ada gantinya ini, ditengah isu kerusakan dan eksploitasi yang gencar dilakukan dan makin parah kian hari.

Wah.. Ndakik-ndakik sekali rupanya tulisan ini. Terlalu idealis dan teoritas. Pokoknya, kalau bisa ikut berjuang menentang perusakan alam. Kalau tidak bisa, ikut merawat alam sesuai kemampuan sendiri. Kalau tidak bisa, tidak ikut merusak alam. Kalau tidak bisa lagi…minimal harus merasa benci pada tindakan yang merusak alam. Itulah selemah-lemahnya iman menjadi pencinta alam.

Saya semakin rindu dengan Pamotan dan warung mbak Peniknya…
98126

Tidak ada komentar: